Anti Hati-hati
Traveller’s Luck. Sebuah ungkapan dalam bahasa inggris yang disematkan pada kejadian unik dan tak terduga yang dialami seorang pelancong dan memudahkan perjalanannya. Umpamanya, seorang baik yang muncul begitu saja dan menunjukkan jalan ketika tersesat hingga kenalan baru yang ternyata satu tujuan dan mempersilakan menumpang.
Kamis dini hari lalu dalam perjalanan pulang dari bandara saya mengalami Traveller’s Luck dalam bentuk yang lain, sebuah pelajaran berharga.Saat itu lewat tengah malam dan pilihan moda transportasi menuju Bandung tidak tersisa banyak. Saya memilih travel yang akhir tujuannya terdekat dengan tempat tinggal. Kosong, dengan susunan kursi renggang, saya siap untuk istirahat nyaman malam itu. Tapi rupanya, saya tidak sendiri… Tidak berapa lama, seorang wanita pirang masuk. Tingginya sepantar orang Indonesia umumnya, setidaknya setinggi saya. Membawa tas punggung yang sangat besar, tas selempang ekstra dan dua buku tebal; jujur saja pembawaannya sangat kikuk. Saya membantu menaikkan barang-barangnya ke atas mobil. Kami berbasa-basi sekedarnya dan kesan yang ditampilkannya adalah percaya diri, dan kikuk =P
Dan perjalanan pun dimulai…. Oh ternyata belum mulai, sesampainya di mulut gerbang keluar Terminal 2 dia berteriak “I left my classic book, please turn around!”. Saya memberi pengertian pada pengemudi dan kami bergerak mundur. Seperti saya bilang, kikuk.
Ketika sampai waktunya berangkat, kami sudah terlambat satu jam dari jadwal dan dia kembali sibuk mengecek barang-barangnya apabila tertinggal. Rasa penasaran, sedikit sebal, ditambah anggapan bahwa orang barat cenderung terbuka, mendorong saya menanyakan dua hal:
- Who are you? (Siapa kamu?)
- and How could you get here in one piece? (Bagaimana kamu bisa sampai kemari dalam keadaan selamat? — tentu dengan nada bercanda)
Keberuntungan berpihak, saya tidak mendapat bogem mentah. Dia tertawa kecil dan memperkenalkan diri. Rupanya dia adalah seorang penulis novel fiksi dari New York, USA. Sempat tinggal selama dua bulan di Bandung dan sekarang berencana tinggal lebih lama untuk mencari inspirasi penulisan buku selanjutnya. Ok, pertanyaan pertama terjawab. Jawaban selanjutnya berupa pertanyaan balik yang menarik…
Dia bertanya, “Kamu bertanya seperti itu karena melihat saya bepergian sendiri, hampir kehilangan barang-barang dan kesulitan mengatur perjalanan saya?”. Singkat saja saya jawab, Ya. Sembari menahan tawa dia berkata, “Percayalah, dalam perjalanan kemari saya sudah kehilangan dompet dan topi kesayangan, jadi yang kamu lihat ini bukan apa-apa”. Tapi kecerobohan tidak menyurutkan saya untuk berkeliling dunia, dia melanjutkan.
Belum sempat saya menimpali, dengan percaya diri dia mengatakan keberanian dan kepercayaan dirinya terletak pada perbedaan mendasar yang dia lihat selama dua bulan tinggal di Indonesia—yaitu cara melepas orang pergi. Selama di Indonesia, setiap dia akan pergi setiap teman-temannya otomotis mengatakan hati-hati atau hati-hati di jalan ketimbang selamat tinggal.
Merasa selalu melakukan itu, saya membalas bukankah itu sesuatu yang baik? Kita memberi perhatian dan sejumput doa dibalik kata itu. Well, itu memang baik tapi bukan itu intinya. Dia bercerita bagaimana ketika di usia 7 atau 8 tahun ibunya mengantarkan dia di hari awal elementary school (setara SD kalau di Indonesia) ke depan pintu bis kuning jemputan sekolah. Di depan rumah, sambil berjongkok ibunya memegang kedua bahunya dan berkata “Take Risks my daughter. Find, Learn and Do what you love, because in that school you’ll learn what is life. Stay strong because Mom will be here, always!”
Terkesima, saya tidak bisa tidak membayangkan bagaimana seorang anak kecil yang sedang gugup di hari pertamanya sekolah mendapati ibunya begitu tenang dan mengalirkan energi hidup yang begitu besar. Bisa dipastikan itu menjadi momen yang begitu dikenang di ingatannya dan menentukan kehidupannya kelak.
Tak ada gading yang tak retak. Kultur kekeluargaan Indonesia yang sangat menyayangi anak telah membentuk sebuah struktur sosial yang tidak bisa ditandingi negara barat saat ini. Bagaimana di negara-negara Eropa dan USA begitu anak mencapai usia dewasa tidak sedikit yang berlepas diri dari orang tuanya. Tidak sedikit orang tua yang akhirnya memilih berkerabat dengan Man’s Best Friend alias Anjing karena begitu setia—tidak seperti anaknya yang menghubungi pun tidak. Lain halnya di Indonesia, keluarga adalah bagian tak terpisahkan dari sendi kehidupan siapapun.
Namun, pelajaran dari penulis kikuk ini mengingatkan saya akan sesuatu—bahwa memiliki hidup penuh makna tidaklah mudah. Kita akan terus bereksperimen mencari passion dan makna, dan dalam perjalanannya kita akan terus belajar dari kesalahan, mengasah urat fokus kita akan sebuah mimpi dan tujuan, dan kesemuanya membutuhkan kita beranjak dari zona nyaman.
Bukankah sangat baik jika anak-anak diberi semangat ini sedari kecil?
Kehati-hatian sebaiknya ditunjukkan dalam persiapan kita memberikan lingkungan yang mendukung dan aman; baik itu sekolah yang berkualitas tinggi, rumah yang nyaman atau kegiatan-kegiatan lain yang dirasa perlu. Kehatian-hatian yang ditunjukkan dalam raut muka maupun bahasa hanya akan diterima sebagai ketidakyakinan orang tua terhadap jalan hidup anaknya, yang secara fitrah sedang berusaha menggapai hidupnya sendiri. Dikhawatirkan, potensi anak yang tak terbatas menjadi terbatasi.
Itulah Eve, seorang penulis novel fiksi dari New York, US. Sayang saya lupa menanyakan judul-judul bukunya, tapi jika bertemu lagi pasti akan saya baca.
Saya melihat jam, 15 menit lagi istri saya akan berangkat meneruskan studi ke Jerman bersama anak. Di chat terakhir ini, saya sudah tahu apa yang akan saya tulis walaupun sedikit berbeda dari Eve—Take Risks.Find, Learn and Do what you love, because in that school you’ll learn what is life. Stay strong because as long as you’re in the way of Allah, you’ll be alright, always!
Salam, WDP