Karir atau Keluarga? Be Agile Family v1.0

Karir ATAU Keluarga?

Setiap insan ingin menjadi Superhero bagi keluarganya. Namun, tuntutan masyarakat sosial seakan selalu memaksa untuk memilih: karir luar biasa tetapi keluarga rata-rata, atau sebaliknya.

Memiliki satu anak dalam masa aktif, saya tidak dapat mengelak dari tantangan berat ini. Tapi haruskah kita tetap memilih?

Biang masalah: diri sendiri

Berkeluarga dan bekerja adalah fitrah. Peradaban lahir karena adanya generasi penerus, lalu tumbuh dengan kemakmuran. Oleh karena itu menyalahkan dua hal tersebut tidak dapat diterima.

Berbagi dengan istri, kami sepakat permasalahan ada pada diri sendiri. Seringkali kita hanya mengenakan jubah _Passion _ketika membuka pintu rumah untuk berangkat kerja/studi. Ketika jam 6 pulang (beberapa baru sampai rumah jam 9, halo Bekasi! hehe), yang ada di pikiran hanya ingin bersantai dan bergurau. Tapi, berapa hari dalam sebulan kita bisa begitu?

Dalam kasusku, tidak banyak. Selalu ada cukup popok bayi untuk diganti walaupun satu hari 28 jam.

Tidak ada keraguan bahwa keluarga adalah oase mata air semangat dan kebahagiaan. Namun, tak ada mata air yang tak pernah surut.

Selalu ada saatnya ketika gaya “mengikuti aliran air” tidak mampu menghadapi masalah-masalah keluarga yang sebenarnya sepele. Dan karena tergagap, muncul sikap over-reacted yang jarang berakhir baik.

Dalam hal ini, kami sepakat perlunya pendekatan profesional dalam membina keluarga…

Agile Family 1.0

Setahun ke belakang, saya sedang gemar-gemarnya dengan ilmu Agile Management. Ilmu yang muncul dari industri software development untuk mengakomodir cepatnya perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar. Bahwa tantangan itu nyata serta terus berubah setiap saat; dan jika kita hanya menggunakan hal-hal yang sama setiap saat, maka tunggu saatnya kompetitor mengambil alih—dalam konteks bisnis.

Maka dalam praktiknya, Agile menitikberatkan pada kecepatan ketimbang kelengkapan; eksperimen ketimbang perencanaan. Perhatikan bahwa tidak berarti hal di sebelah kanan tidak dilakukan sama sekali.

Lalu saya berpikir, kenapa tidak mencoba hal ini dalam keluarga?!

Disini kami ingin berbagi cerita eksperimen keluarga kami dengan harapan bisa berdiskusi dengan keluarga-keluarga lain. Saya yakin semua ingin meningkatkan kualitas baik Keluarga maupun Karir hingga tahap Luar Biasa Istimewa tanpa mengorbankan salah satu, tidak peduli keluarga kecil maupun besar, pekerja kantor maupun pengusaha.

Yuk mari!

Dogma vs. Nilai Kebijakan (Values)

Jim Collins, dalam bukunya Good to Great, mengatakan bahwa, “dalam setiap entitas kemanusiaan yang bertahan lama—baik itu agama, negara, perusahaan, dan juga keluarga—mereka memiliki dualitas di dalamnya, yaitu Kukuh pada nilai/Menstimulasi perkembangan“. Nilai-nilai (Values) ini bertahan lama menjadi pengarah hingga akhir. Tapi di lain pihak, sebuah entitas harus terus berkembang, beradaptas dan berinovasi agar terus relevan dalam masyarakat yang dinamis.

Dan seperti yang kita semua tahu, 5 tahun lalu berbeda dengan hari ini; apalagi 20-30 tahun lalu. Maka hal pertama yang kami lakukan adalah menentukan Nilai-nilai dalam keluarga. Tantangan pertama adalah bagaimana memisahkan antara nilai kebajikan universal dengan dogma-dogma lingkungan yang membentuk kita. Dogma, tidak seperti nilai, bisa bersifat baik maupun buruk. Hanya walaupun baik, dogma sangat terpengaruh oleh waktu dan otoritas.

Misal, “Nak… Jangan keluar sudah malam!” Dogma ini tepat sekali, pada masanya! Keadaan Indonesia masih banyak hutan, otoritas orang tua sangat kuat karena anak tidak memiliki pembanding, dan memang tidak banyak kegiatan malam hari. Jaman sekarang, dogma ini akan segera mental karena orang tua pun sering membawa anaknya ke mall malam hari. Otoritas orang tua sudah mulai berkurang, terlebih ketika usia anak memasuki remaja, karena sudah banyak sumber pembanding (internet, teman, dll).

Maka fokus kami arahkan pada nilai-nilai yang tidak lekang oleh perkembangan jaman.

Kesulitan selanjutnya adalah menentukan nilai-nilai yang akan dijadikan pegangan. Kami tutup buku-buku parenting yang biasa dibaca, bukan karena tidak ada nilai yang baik di dalamnya… Tapi karena nilai-nilai dalam keluarga menjadi sangat kuat ketika hal itu berasal murni dari keyakinan masing-masing anggotanya. Dalam hal ini saya dan istri dulu, si kecil diberi hak nonton dulu saja karena belum bisa ngomong 🙂

Tips selanjutnya, ketimbang sulit-sulit brainstorming… Kami membuka kitab suci, untuk kami Al-Qur’an, dan mencoba mengingat-ingat surat atau ayat yang ngena banget. Sebagai umat beragama, kami sarankan anda untuk membuka kitab suci anda. Untuk apa tho pusing kalau sudah ada kalam Tuhan? hehe.

Pisahkan Nilai dari Dogma. Lalu tentukan nilai-nilai Keluarga kita!

Mulai dari Hal Kecil

Babak kedua: Tujuan alias target. Saya pikir ini cukup jelas, hidup tanpa tujuan bagai sayur tanpa garam 🙂

Pastikan saja bahwa tujuan tersebut tidak terlalu banyak, 3 atau 5 cukup; memiliki waktu capaian; dan Luar Biasa menggairahkan agar semangat satu keluarga hehe. Misal, punya anak 4 (empat) tapi tanpa pembantu!

Minimal suami semangat bikin anak… ups.

Sebagaimana prinsip-prinsip Agile, setelah ini tidak perlu banyak dilakukan perencanaan lagi*.  Start Small, Experiment a lot, Iterate!

_Agile _sangat mementingkan pentingnya komunikasitransparansi dan akuntabilitas. Maka kami memulai dengan membuat Papan Komunikasi keluarga (Dashboard). Hal ini berangkat dari seringnya muncul kesalahpahaman  akan tugas harian dan target mingguan di rumah. Singkat kata, dashboard versi 1.0 ini mampu menyelesaikan masalah ini karena: Terbuka dan mudah diakses, menyebabkan kontrol akan tugas setiap orang mudah dilakukan. Fleksibel, karena menggunakan Post-It sehingga jika ada perubahan-perubahan jadwal dapat segera dilakukan. Sederhana dan intuitif, keinginan kami adalah agar si kecil nanti mudah mengikuti pada saatnya.

Nawira Dashboard v.1

Setiap hari dilakukan _briefing _10 menit untuk cek jadwal harian dan pembagian tugas. Termasuk review. Begitu terus, dan ada beberapa perubahan yang belum sempat didokumentasikan, tapi itulah Agile, akan selalu ada perubahan namun dengan tujuan yang baik.

Bilamana sudah mampu menyelesaikan masalah tersebut, segera loncat ke hal yang lain. Di keluarga saya, bagaimana bisa membuat si Alta kecil kalau tidur tidak harus digendong lagi. Alhamdulillah, mission accomplished! Hal ini diceritakan di lain waktu saja karena sudah terlalu panjang 🙂

Dengan ini, harapan saya adalah agar masalah-masalah manajemen dalam keluarga bisa terakomodir dan saya bisa lebih fokus kepada peran sebagai suami dan ayah yang perhatian.

Bagaimanapun, setiap keluarga berbeda. Dan permasalahan yang diketemui pun berbeda-beda. Ada cerita menarik yang bisa menjadi masukan bagi kami?

Salam,

WDP

N.B.:
*dalam hal prinsip Agile di perusahaan memang terdapat sedikit step-step tambahan perencanaan, tapi ini Keluarga bukan Perusahaan mas. Gak perlu dibuat terlalu repot 😉