Melawan Penjara Diri

Manusia memiliki musuh abadi, dirinya sendiri. Perlawanannya terasa ketika kita beranjak maju, maka ia akan menarik surut. Membisikkan kepercayaan semu bahwa usaha hanya membuahkan luka.

Di negeri asing ini, musuh tersebut menjadi begitu jelas bagiku. Diam-diam, ia membuat penjara. Jerujinya tersusun dari pikiran-pikiran pesimisme pribadi. Atapnya terbuat dari cerita-cerita lirih karya gagal pengelana lalu.

Maka sudah jelaslah misiku disini, meninggalkan penjara diriku. Menulis ulang pikiran menjadi impian. Merubah diam menjadi peluh.

# Merasa Cukup

Dulu aku sempat tinggal di Spanyol selama empat bulan. Pulang ke tanah air hanya bisa kata _hola! _dan _gracias. _Melihat ke belakang, ternyata diriku merasa cukup hebat dengan bahasa Inggris sehingga tidak mau belajar lagi. Ini berbahaya!

Lingkungan di Jerman yang mengharuskan berbahasa lokal memaksa sudut pandang berubah. Kerja paruh-waktu terbukti menjadi medium pelatihan bahasa yang baik. Setiap hari belajar kata-kata baru karena dimarahi atasan! 😛

# Mengikuti Arus

Menjadi beda tidaklah nyaman, tetapi penting. Tokoh besar menjadi dihormati karena beda. Beda yang bermakna.

Di tempat kerja kali ini tidak ada yang shalat, berbeda dengan dulu di tanah air. Tapi aku adalah Muslim. Identitas muslim adalah Shalat. Maka kucoba bertanya sajalah… Rupanya atasan sangar itu berpikiran terbuka.

Dipersilahkannya aku beribadah di kantornya dengan pintu terkunci, karena memang tidak ada ruang lain.

Tantangan kaum mayoritas adalah tenggang rasa. Tantangan kaum minoritas adalah keteguhan. Sungguh bekal yang sangat berharga untuk dibawa pulang.

# Mengambil Tantangan

Semester pertama perkuliahan dimulai. Hampir lima tahun lamanya aku lari dari matematika dan fisika, takdir Tuhan meminta juga aku mengambil pendidikan master teknik.

Aku selalu percaya Passion dan Keingintahuan adalah kompas hidup yang diberikan Tuhan. Diantara pilihan mata kuliah lain, ada satu mata kuliah semester atas yang menarik. Sulit, tapi menarik.

Syukur, karena keunikannya itu… tidak banyak yang mengambil. Dan karena aku tertarik, ujian akhir dipersiapkan matang-matang. Ganjarannya? Alhamdulillah diminta kerja menjadi asisten-nya asisten riset di universitas. Bahasa kerennya SHK.

Bukan, bukan karena pintar. Tapi karena cukup keras kepala menolak ajakan teman dan memilih pilihanku sendiri.

# Kita tidak Sendiri

Rathaus Essen, gedung sate-nya Essen, Jerman.

Aku ini gatalan. Gatal usaha. Sayang, tidak sedikit yang mengatakan usaha disini ribet.

Dibanding Indonesia? Ya. Di kota kelahiranku, Bandung, orang tinggal membawa tikar dan membayar iuran keamanan kepada preman untuk bisa berjualan. Tapi apakah tidak mungkin berusaha? Bukankah aku berada di negara ekonomi terbesar se-Eropa?!

Kusambangi Rathaus Essen, gedung pemerintahan kota disini. Agak lucu, karena mereka pun awalnya bingung bagaimana membuka usaha kecil sendiri dengan keadaan spesifik macam aku ini. Ndak punya uang, ndak punya visa tetap, cuma bondo nekat.

Akhirnya setelah perjalanan tiga ruangan dan dua malam, dapatlah sudah informasi yang diperlukan. Kesimpulannya, memang ribet dan butuh modal 😀

Namun, Nabi mengajarkan silaturahim. Sendiri itu sulit, mari mencari kawan. Silaturrahim menaikkan rejeki dan mengurangi resiko. Ternyata banyak pula yang berpikiran sejalan.

Mohon doanya, semoga akhir tahun ini sudah dapat menjalankan usaha awal Imbiss alias Warteg di pasar dadakan sini.


Aku bersyukur kepada Tuhan karena memiliki orang tua dan keluarga yang mendukung. Ia menciptakan Ibu dan Istri bukan tanpa alasan. Karena ketika diriku hilang keyakinan, mereka selalu siap mendorong dan menopang.

Penjara itu akan selalu ada. Tepat di horizon pandanganku. Namun, lintasan hidupku tak akan pernah bertemu. Insha Allah.

September, 2015. Essen.