Gak lucu!

Kultur itu asem. Digubris dia mengekor, diabaikan dia mengaum.

Namun, suka tak suka kita butuh… dan cara membawa diri di tengah kultur yang berbeda-beda adalah ketrampilan hidup dasar yang mampu menentukan anda sukses atau tidak.

Singkat kata, akan ada kalanya kita akan tertampar oleh perbedaan kultur. Tulisan ini adalah cerita saya ketika menampar balik perbedaan itu—dengan cinta tentunya ♡

Alta, anakku, ketika itu sedang sakit. Sebagai bapak teladan (ehem!) sudah barang tentu kami segera mengunjungi dokter. Setelah dua takar basa-basi, satu kali suntikan dan beberapa tetes sampel urin, Alta dan aku menebus obat di apotek sebelah.

Sambil membayar, sudut mataku melihat si bocah anteng main kereta kayu tanpa sepatu. Ups, ketinggalan! Disini, konflik akan segera dimulai…

Jam dinding menunjukkan pukul 12.05. Bu dokter tutup praktek lima menit sebelumnya hari itu. Aku melihat suster yang bertugas, orang pribumi, mengunci pintu tempat praktek dan berjalan menuju mobilnya untuk pulang. Aku mengangkat anakku dan bergegas mengejarnya.

// Semua kejadian berlangsung dalam bahasa Jerman serampangan.

“Sus, maaf aku ketinggalan sepatu anakku. Boleh aku minta tolong dibukakan pintu untuk mengambilnya?”

“Ya Tuhan, bagaimana Anda bisa meninggalkannya? Baiklah!” Jawabnya dengan bersungut.

Lalu saya mengikuti ratu lebah ini di belakang dalam jarak aman dan menunggunya mengambilkan sepatu tersebut.


Tidak sampai satu menit ia keluar kembali membawa sepatu anakku. Aku segera berdiri, berterima kasih sekaligus meminta maaf sambil tersenyum penuh penyesalan.

Tiba-tiba, dengan nada sedikit tinggi, ia berkata “Gak lucu!”

Aku tertegun. Di Indonesia, saya terbiasa memperlihatkan penyesalan dengan sebuah senyuman penuh arti. Rupanya, disini hal itu dianggap ketidaksopanan. Hm… tapi, bukan Wiwid jika tidak gigih. Aku meniatkan diri untuk merubah lawan ini menjadi kawan.

Fitrah manusia itu baik dan senang dengan kebaikan.

Mari kita susun kerangka strateginya:

  1. **Percaya Diri, **adalah hal pertama yang harus dipastikan. Jangan sampai kalah sebelum berperang. Ada premis yang bisa membantu: fitrah manusia itu baik dan senang dengan kebaikan.
  2. Fokus,
    • Eksternal. Lawan kita berhak mendapat perhatian terpusat kita. Sigaplah dengan segala perubahan di raut muka, pergerakan lengan dan posisi kaki. Jika yang kamu lakukan membawa perubahan positif, lanjutkan. Sebaliknya, segera berhenti jika suasana memburuk.
    • Internal. Perhatikan bahasa tubuh kita. Pastikan tidak ada tanda-tanda permusuhan yang kentara. Ingat, kita ingin menjalin pertemanan; bukan perseteruan.
  3. **Saatnya berdansa, **ibarat pertarungan bela diri ada tiga hal yang bisa dilakukan: menyerang, mengalihkan perhatian atau menghindar/menangkis/mundur. Akan dijelaskan dengan cerita dibawah.
  4. Sajian Penutup. Saat semua terasa anti-klimaks, berikan impresi terakhir yang tak terduga. Ini semua tergantung kondisi di lapangan. Humor adalah salah satu yang terbukti positif jika dilakukan dengan tepat.
Jika kamu tidak humoris tapi terlampau PD, mungkin bisa dengan ciuman seperti Rangga ke Cinta di AADC atau drama-drama Korea. Jadilah kreatif!

Mari kita praktekkan!


// Kembali ke tempat kejadian perkara

Aku segera memasang muka netral dan menatap tajam bola mata biru si suster.

“Maaf sus, saya tidak bermaksud mengejek.” —Segeralah mengakui kesalahan ketika terjadi.

Dengan gerakan yang diperjelas, aku segera berusaha memasang sepatu anakku. Kulihat bola mata biru itu mengikuti gerakan lenganku. –Ini pengalihan perhatian pertama

“Suster pasti lelah dari pagi mengobati para pasien, ayo bilang terimakasih Alta!” Dan anakku mengatakan “Danke!” Segera kuikuti dengan senyuman netral dan tetap menatap tajam bola mata biru itu. Kulihat dia membalas tersenyum. –Gunakan apa yang ada di tanganmu. Ini pengalihan perhatian kedua.

“Sus, tidak jadi pulang? Udara sedang cerah… pasti enak di rumah memakan semangkuk es krim!” Kulihat ia tertegun kemudian mengatakan sambil sumringah, “Oh ya betul, terima kasih. Memang musim panas begini saya senang sekali makan es krim” –Ini penyerangan dengan tiba-tiba bertanya hal yang pasti disuka.

Lalu aku sengaja diam 2.5 detik. Hitung benar-benar! Menghitung membuat kita tenang dan sadar diri.

1.5 detik pertama saya tetap mempertahankan pandangan saya. 1 detik kemudian kualihkan ke Alta. –Ini mundur teratur sekaligus mengalihkan perhatian dia.

Keheningan membuat orang gelisah. Akhirnya dia bercanda dengan anakku dan ijin pamit sambil melempar senyum. Sajian penutup kali ini hanya lambaian tangan dan frasa sederhana “Hati-hati di jalan dan sampai bertemu lagi!”

Pelajaran hari ini: ketika meminta maaf ke orang Jerman, tatap matanya setajam yang dia lakukan. Pertahankan muka netral dan bicara seperlunya. Alles klar!

Sayang, pemilik mata biru itu berumur 60 tahun lebih…

Salam,